Wednesday, February 14, 2007

Ketika Nenek Itu Menghilang...

22:57 10/10/2006

" Ketika Nenek Itu Menghilang... "

Argh! Entah mengapa, rasa-rasanya cuaca benar-benar tak bersahabat denganku beberapa hari belakangan ini. Dehidrasi semakin menjadi, kulit pun semakin legam. Namun aku berlagak seakan aku tak peduli dengan tantangan surya yang cahayanya sungguh perih menyengat, aku terus berjalan, sambil berharap rasa apa yang tak jelas ini bisa luntur keluar dengan segera dari dalam bersamaan dengan keringat yang mengucur.

Aku tak mengelak kalau beberapa hari ini aku diliputi perasaan aneh yang tak punya definisi. Kepalaku overloaded dengan banyak hal yang tak punya solusi. Stagnasi hidup. Aku berada pada titik jenuh ganda yang pada akhirnya menuntut aku untuk sekedar mengikuti arus. Padahal masih ada sebagian dari hati nurani yang menentang keadaan itu. Pertentangan kiri dan kanan semakin seru. Tapi tak apalah, tak setiap harinya aku merasa eneg dengan keadaan seperti ini, jadi apa salahnya kalau aku sejenak lari dari rutinitas yang menjemukan untuk mencari kesenangan lain yang juga tak kalah menjemukannya.

Siang ini keadaan memaksa aku untuk sejenak kembali pada rutinitas jemu tapi tak kupungkiri pula kalau sebenarnya keberadaannya bermanfaat untukku. Yah kupikir ini adalah kewajiban yang kemudian harus aku tuntut hak-ku.

Aku terus melangkahkan kaki, aku hendak pulang, menyusuri jalan yang biasa aku lewati di atas roda. Tapi hari ini aku memutuskan untuk berusaha sendiri saja, tanpa bantuan roda-roda yang memanjakan aku itu. Sial! Matahari siang ini benar-benar menguji kesabaranku. Kalau aku tidak ingat sedang berpuasa mungkin aku sudah menenggak air minum yang dijual di bedak-bedak pinggir jalan itu.

Ketika berjalan, aku jadi tahu bagaimana rasanya orang-orang yang berbaju lusuh itu menghabiskan hari dan mencari tahu bagaimana cara terbaik untuk melanjutkan hidup esok hari. Tidak makan, tidak minum, tidak ada uang, ah! aku benar - benar masih beruntung.

Di telingaku berdentum-dentum lagu yang sekiranya membuat aku terus bersemangat untuk melalap aspal dan trotoar di hadapanku ini. Ramai sekali jalanan hari ini. Sampai - sampai hendak menyeberang pun aku harus menunggu traffic light(*) itu berubah warna dan membuat semua roda berdecit. Mengapa aku memutuskan untuk menyeberang? ya..ya..karena aku lihat di seberang jalan itu banyak sekali baliho terpampang dan mungkin dengan berjalan di balik papan iklan itu paling tidak sementara aku akan terlindungi dari sengatan matahari sialan! Dan ternyata pemikiran sederhanaku itu sama sekali tak salah.

Sudah tak begitu panas sekarang, aku harus berterimakasih pada jejeran papan iklan yang entah berpajak atau tidak ini. Dentuman lagu semakin menguasai aku dan aku kembali bersemangat berjalan menelusuri trotoar ini.

Di arah yang berlawanan aku melihat seorang nenek berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya yang bergetar. Ia berjalan selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati, memilah-milah dengan tongkatnya jalan mana yang kemudian harus ia ambil. Aku begitu maklum mengingat trotoar ini memang berbatu. Ia memandangku, namun kemudian aku memalingkan wajah. Hingga tiba saat berpapasan dengannya aku kembali memandangnya dan aku merasa ia sedang berusaha mengatakan sesuatu padaku.

Aku melepas penyumbat kuping yang kupakai sejak aku berjalan pulang dari tempatku menimba ilmu tadi, mematikan musiknya, dan bertanya pada nenek tua itu apakah ia sedang berbicara padaku. Ia kemudian memanggilku Jeng(**) dan mengucapkan salam dengan lembut dan aku reflek menjawab salam itu. Ia kemudian bercerita tentang banyak hal padaku, yang kemudian membuat aku tahu bahwa nenek ini adalah seorang keturunan etnis tionghoa. Namun ia seorang muslim, sembari mendengarnya terus berbicara mengenai masa lalunya, aku memperhatikan wajahnya,ia berkacamata, kacamata tua, dulu ia pasti sangat cantik, hal itu terbias dari garis-garis yang tertoreh disana. Tubuhnya kecil mungil. Kepalanya hanya setinggi sedikit lebih rendah dari pundakku. Ia mengenakan baju terusan yang amat bersih dan rapi, dibalut jaket yang terbuat dari rajutan benang, dan ia memakai jilbab berwarna putih, hanya putih, tanpa hiasan apapun.

Aku tetap mendengarnya berbicara, bercerita secara tiba-tiba tentang hidupnya, tentang bagaimana ia dibuang oleh anak-anaknya, tentang bagaimana dulu ia sangat kaya raya namun kemudian jatuh miskin dan suaminya menjualnya kepada cukong-cukong(***) jalanan. Bagaimana ia melarikan diri dari kegelapan hidup yang secara tiba-tiba menimpanya. Bagaimana ia berusaha menerima waktu yang berjalan begitu cepat dan meninggalkannya dalam masa tua yang begitu sepi. Tanpa kasih sayang anak-anak yang begitu didambanya. Bagaimana kerap kalinya ia dianggap sebagai pengemis oleh manusia-manusia yang kebetulan iba saat melihatnya berjalan. Aku hanya mendengar, tetap mendengar. Kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya kemana ia akan pergi setelah ini, ia menjawab dengan penjelasan yang amat panjang bahwa sebenarnya ia hendak mencari Haji-Haji yang mau mendoakannya, Haji-Haji yang dapat menuntunnya menuju jalan yang benar yang selama ini ia cari. Ia begitu rindu akan ketenangan jiwa yang tak juga didapatkannya. Ia hendak pula mencari Haji-Haji yang dapat menuntunnya untuk dapat mendoakan keselamatan dan kebahagiaan putra-putrinya dimana pun mereka berada dan dalam kondisi apapun mereka.

Aku sedikit terhenyak mana kala ia memberiku doa dalam alunan bahasa jawa yang amat halus setelah aku memberi jawaban dari pertanyaan apakah aku sudah menikah. Aku mendengar dan hanya mampu mengaminkan doanya. Ia mendoakan aku selalu sukses dalam hidup, mendapatkan jodoh yang berkecukupan, baik, sabar, dan penuh pengertian, sekaligus ia mengatakan padaku jangan tertipu oleh keelokan wajah seseorang karena itu bukanlah sebuah jaminan bahwa ia dapat membawamu menuju sebuah kehidupan yang tenang dan bahagia. Ia pun menyalahkan dirinya atas semua hal yang pernah menimpa dirinya dan ia berharap aku tidak mencontoh segala perbuatan yang pernah dilakukan olehnya. Ia mengatakan semua itu sambil menggenggam tanganku erat-erat. Sangat erat. Dan entah ada kekuatan apa dalam diriku yang kemudian mendorongku untuk memeluknya, padahal aku sama sekali tak mengenalnya. Nenek tua itu begitu ringkih...


Aku melepas pelukanku dan ia masih tetap menggenggam tanganku erat-erat. Ia mengulangi doa-doa yang telah ia sebutkan tadi berulang-ulang, aku mendengar dan hanya mampu mengucap kata amien...

Sedetik setelah ia mendoakanku ia perlahan melepaskan tangannya atasku dan kemudian berpamitan seraya mengucap salam...aku membalasnya..dan air mataku menetes (dengan entah apa sebabnya...)

Aku terus menatap nenek itu yang berjalan sangat pelan dengan tongkatnya sebagai penunjuk jalan. Beberapa langkah nenek itu aku kemudian berbalik dan berjalan bermaksud meneruskan perjalanan pulangku yang tertunda. Hanya beberapa langkahku saja kemudian aku tiba-tiba ingin sekali lagi melihat nenek misterius itu. Aku membalikkan badanku seraya berharap akan kembali menemukan punggung nenek itu, tapi aku tak dapat menemukan siapapun disana. Jalan ini tidak bercabang, hanya satu jalan lurus, dan tidak ada pepohonan yang mampu menghalangi pandangan. Aku menajamkan mata, berjalan kembali ke arah tempatku bertemu dengan si nenek tapi aku bahkan tak dapat menemukan pertanda apapun bahwa nenek itu pernah berada disana dan berbincang denganku. Aku memutar otak, apakah secara tiba-tiba nenek itu menemukan kekuatannya yang tercecer dijalan, mengumpulkannya, kemudian berlari sekencang mungkin? atau ia punya pintu kemana saja yang kemudian membawanya hilang begitu saja tanpa jejak? atau? atau? aku tak tahu!


Aku kembali berjalan dengan perasaan yang tak menentu. Pengalaman apakah itu tadi? Aku terus memutar otak tanpa henti. Tapi semakin aku memutarnya, semakin kepalaku pening tak keruan. Aku flash back sejenak dan menyadari bahwa dalam beberapa waktu tadi aku berada di dunia dimana aku seharusnya tidak berpijak. Tetapi sesuatu telah membawaku kesana. Jantungku terus berdetak kencang sepanjang sisa perjalanan pulangku. Bahkan sengatan matahari dan pegalnya kaki pun tak lagi terasa. Semua tenagaku terkuras memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Apa artinya?


Sebentar lagi aku sampai pada tujuan perjalananku, aku tersenyum, tersenyum, dan mulai mengerti apa maksud semua hal ini. Angin segar mulai menyapaku, aku tersenyum lagi dan mulai berharap dapat kesempatan untuk kembali dipertemukan dengan nenek misterius tadi. Karena aku telah menyiapkan banyak pertanyaan untuknya...


Keterangan:
(*) Traffic light adalah lampu pengatur arus lalu lintas yang berwarna merah kuning dan hijau
(**) Jeng adalah kata sapaanuntuk perempuan dalam bahasa Jawa yang berarti nona atau nyonya
(***) Cukong adalah kata lain dari mucikari

No comments: