Wednesday, February 14, 2007

Di Sudut Sana Itu...


21:33 10/10/2006

" Di Sudut Sana Itu... "

Ketika aku duduk di sudut sana itu. Merasakan hembusan angin melewati setiap senti jengkal tubuhku. Menyelap rambutku. Merasakan udara begitu panas menyapa. Ditambah gemerisik suara ilalang yang tinggi-tinggi saling bergesekan setelah dilalui angin.

Apakah aku melamun? Aku tak tahu hingga aku tersadar oleh sapaan dua orang bocah cemo(*) dari kejauhan. Mereka melambaikan tangan mereka sambil melompat-lompat seperti girang, memanggil aku, "Kakak! Kakak!". Aku mendongakkan kepalaku hingga melihat mereka yang wajahnya masih samar saking jauhnya. Tapi aku tetap mengenali mereka. Dua kakak beradik itu tinggal di deretan rumah kayu di belakang rumah yang kutinggali. Orang tua mereka berasal dari Sorong. Bagian lain dari pulau ini. Pun aku balas lambaian itu, "Mari!". Begitu aku teriakkan pada mereka. Namun mereka tetap melambai dan berlalu sejurus kemudian berlari-larian menceburkan diri ke dalam dinginnya air irigasi. Aku tersenyum baru tersadar bahwa mereka tak mengenakan sehelai benang pun saat menyapaku tadi. Rupanya mereka hendak mandi. Mereka pun bahkan tak sempat mendengarkan kata 'mari'ku tadi. Memang begitu ulahnya, hampir semua bocah cemo tak pernah memakai baju. Meski mereka telah bersentuhan dengan modernitas, tapi begitulah kebiasaaannya. Agaknya mereka punya cara sendiri untuk mengeksploitir adat istiadat mereka dengan cara yang begitu natural dan cenderung tak lazim bagi orang kebanyakan.

Aku melihat mereka begitu riang bermain di antara titik air yang sepertinya sangat menyegarkan di udara seperti ini. Ya...dan aku tersenyum melihat mereka. Sungguh pemandangan yang memenuhi relungku.


Matahari telah setengah miring. Tapi udara masih panas. Meski angin selalu datang dan berusaha menghiburku, tapi panas tetaplah panas. Aku tetap duduk di sudut sana itu. Singgasana yang tak tergantikan. Memori yang tak terlepas. Aku masih menanti sesuatu. Ada yang belum lengkap rasanya hari ini, hingga aku pun masih enggan untuk beranjak dari sudut ini.

Benar saja! Lamat-lamat aku dengar gemelentang lonceng disertai deru langkah seribu kaki. Makin lama semakin mendekat. Tapi aku tak perlu beranjak dari tempat aku duduk di sudut ini. Tetap di sudut ini.

Ini dia! Nampaknya memang ini yang kunanti. Rombongan yang teratur menjenguk padang rumput sebelah setiap sore. Sapi-sapi padang rumput timur. Dalam rombongan itu tampak jantannya cuma seekor. Berwarna hitam dan memiliki proporsi tubuh lebih besar dan kekar daripada yang lainnya. Tanduknya melengkung galak menantang surya. Tak diragukan kalau pejantan itu mampu menggagahi betina sebanyak itu. Betinanya memiliki warna kulit yang lebih cerah, coklat muda. Dengan tanduk kecil yang seakan-akan memberi kesan itulah perhiasan mereka.

Mungkin terdengar tidak penting. Tapi kedatangan rombongan ini sungguh memberikan suasana yang begitu damai dan nyaman.

Gemeletak batang kayu yang bersentuhan dengan bebatuan terdengar kemudian. Inilah kedatangan sang raja. Ialah sang gembala tua yang tampak begitu sabar menggiring dan menanti rombongan itu hingga puas merumput. Dengan 'seragam kebangsaan' yang khas lengkap dengan persenjataannnya, ia berjalan dengan gagah dan yakin.

Seragam itu berwarna abu-abu lusuh. Mungkin saking seringnya dipakai dicuci dipakai kemudian dicuci dan begitu seterusnya. Kemejanya pun tampak lubang disana-sini, namun terlihat juga beberapa diantaranya bekas tisikan kasar. Mungkin ia tidak memiliki istri, hingga ia menisiknya sendiri sebisa mungkin. Dan mungkin itulah hasil tisikan terbaiknya. Paling tidak mungkin begitulah menurutnya. Memang ini serba mungkin, karena aku hanya menerka-nerka saja.

Celana yang dipakai hanya sebatas panjang sampai beberapa senti di bawah lutut saja, keadaannya pun tak jauh beda dengan teman sepasangnya. Ia tampak terbiasa berjalan diantara bebatuan cadas itu tanpa alas kaki. Jangan tanya bagaimana aku, sama sekali belum terpikir untuk mencobanya. Jangankan bertelanjang kaki,pakai sandal karet saja masih terasa tajamnya bebatuan itu hingga ke dalam. Tapi mungkin aku akan mencobanya lain waktu. Ya..ya..aku memang akan mencobanya nanti. Gembala itu memakai tutup kepala yang juga lusuh namun tampak sangat familiar untukku. Ah ya! aku ingat aku pernah memilikinya beberapa kali pada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku mengernyit pahit, entah mengapa, melihat penggembala itu seketika dadaku terasa begitu sesak. Ia menoleh ke arahku!

Aku terhenyak dengan sejuta pikir menyertai aku.
Apakah ia tahu kalau aku mengamatinya?
Atau jangan-jangan ia bisa tahu jalan pikiran orang termasuk aku?
Atau...

Ia tetap melihat ke arahku, dan aku memberanikan diri untuk tetap melihatnya.

Sedetik kemudian ia tersenyum dan melambai ke arahku. Tongkat gembalanya terangkat pula mengikuti lambaian tangannya. Setengah berteriak ia berkata-kata yang sepertinya ditujukan kepadaku karena memang tak ada orang lain disitu selain aku dan gembala tua itu. Kecuali ia memiliki kemampuan untuk berbicara pada sapi-sapi peliharaannya itu. Tapi tidak! Ia memang berkata padaku, "ACEM!!"(**), begitu katanya. Dan aku membalasnya dengan lambaian dan kata-kata yang sama. Aneh, serta merta sesak itu hilang...

Gembala tua itu kemudian berlalu mengikuti jejak rombongan di depannya. Menuju padang rumput sebelah yang sepertinya sudah tak sabar lagi ingin dijenguknya.

Setelahnya, banyak lagi rombongan dan gembala lain menyusul merumput di tempat yang sama. Tapi entahlah, hanya gembala tua yang menyapaku itu yang sungguh menarik perhatianku. Aku pun tidak tahu alasannya. Yang jelas, setelah ia berlalu aku tak lagi meluangkan waktu untuk melihat gembala yang lain.

Aku tetap duduk di sudut sana itu. Matahari semakin miring ke barat. Peraduan tempat dimana memang seharusnya ia berada. Angin tetap mendesir berbisik. Gemerisik ilalang tetap berdengung di telingaku.

Aku memejamkan mata...

Kemudian aku tahu, esok aku akan kembali duduk di sudut sana itu.


Catatan:
(*) Cemo adalah sebutan untuk orang-orang putra daerah di Papua. Sebutan ini populer di kalangan pendatang.
(**) "ACEM" memiliki arti "SELAMAT", kata ini diambil dari bahasa suku Atam dari pegunungan Arfak.

No comments: