Wednesday, February 14, 2007

Disturbing Silent Voice



23:11 19/11/2006

"Disturbing Silent Voice"

turbulensi waktu, ia mengajakku berkelana melewati rimba hidup dengan sejuta misteri terhampas luas didalamnya.

aku terjebak dalam kekokohan pasir hisap, ketikanya aku memberontak maka makin cepatlah aku tenggelam. ia menelanku, bulat-bulat, tanpa pamrih dan tendensi. aku tidak bisa lari. aku tidak punya pilihan. aku terdiam. aku tak berucap. aku terdiam. aku menjerit. aku terdiam.

jasadku berdiri di hadapanku. lalu siapa aku? haruskan aku berkenalan dengan diriku? kembali berpacaran dengannya? haruskah?

aku mau pergi tapi kakiku tertancap seperti pasak. dia tidak akan tahu. dia tidak akan tahu.

aku bercermin di atas kubangan air keruh. aku melihat wajahku. bersemu seperti air keruh. setiap hari hanya itu yang kulakukan sejak aku bangun dari tidurku.

ketika matahari mengganti tahtanya, aku berkubang. berkubang dengan kegelapan yang semakin menjadi. setitik cahayanya pun tak kutemukan, atau aku pura - pura buta? atau memang aku tidak melihatnya? jangan - jangan ia memang ada, tapi tunggu! aku melihatnya, ah tidak! itu cuma kamuflase ternyata. kamuflase yang nyata.

ha ha ha! telingaku berdenging. ada suara lambat memanggil namaku. tapi aku tak mendengarnya. yang aku tahu hanya ada suara berdenging di telingaku. dan suara apa itu? suara kematiankah? kalau iya segera jawab! aku ingin kau segera menjemputku..

aku tidak ada dalam lingga, lingga akhir hidup. aku tidak mati. aku juga tidak hidup. aku gentayangan. siapa yang aku gentayangi? aku, aku menggentayangi diriku sendiri. semuanya tampak berputar-putar, seperti pusaran air, pusaran angin, pusaran waktu, dan pusaran-pusaran lainnya. chaos!

ah..tak semudah itu rupanya. inikah karma yang harus aku jalani seumur hidupku? aku berada pada sebuah titik klimaks tanpa tahu apa antiklimaksnya. haruskah aku menyerah pada keadaan yang jelas-jelas tak memihak padaku? Tidak...tidak...aku tak semenderita itu, ini hanya satu bentuk kegiatan hiperbolistik yang berlebihan, tapi kuanggap itu perlu.

wajah itu, wajah yang tak akan pernah lekang dalam memori terbatasku. wajah itu yang membunuhku perlahan-lahan...sangat perlahan...p..p..p..eee..ee...eee..eerr...laaa...aaaahhaa....aannn...nnnn....hingga aku tak merasa bahwa sebetulnya sekarang aku tlah mati. baru aku tahu, ooohh...ternyata itulah sebabnya, itulah sebabnya mengapa aku bisa menyaksikan jasadku sendiri berdiri di hadapanku tertawa ala monalisa maha karya da vinci. apa aku bisa dijadikan maha karya juga? baguslah! jadi semua orang bisa mengenangku dengan cara da vinci juga. jadi aku tak mati sia-sia. paling tidak aku masih bisa jadi bahan lelucon bagi orang-orang yang masih hidup. tertawa saja! tertawa saja sepuasnya! kalian tidak akan tahu rasanya ketika kalian sudah menjadi aku!

pada akhirnya aku hanya bisa menanti...

menanti sesuatu, seseorang, atau apalah itu dalam bentuk apapun yang bisa membantuku menggulung pita-pita kusut ini, aku mau melihatnya lagi.

jadi cepatlah datang

Wah ma'af! yang ini tanpa judul

2:31 14/02/2007

apakah itu persahabatan?

istilah yang masih menjadi misteri besar buat aku, aku katakan itu karena itulah memang kenyataannya, aku tak pernah tahu jawaban atas misteri pesahabatan itu sendiri. banyak dari mereka yang mengatasnamakan persahabatan atas alasan tertentu di balik itu yang kemudian berubah motif menjadi hal yang tak bakal dimengerti orang lain.

tetapi di sisi lain, persahabatan dapat pula menjadi sangat indah ketika mereka dipertemukan satu sama lain dalam kondisi yang sangat tidak terduga, dalam keadaan yang juga tak dimengerti oleh orang lain yang tak mengalami sendiri seperti mereka yang mengalami. terjalinnya sebuah hubungan tanpa darah tetapi selayak itulah yang terjadi, bahkan seorang sahabat bisa menjadi darah daripada darah itu sendiri. Memahami tanpa menuntut untuk dipahami, mengerti tanpa meminta untuk dimengerti, memberi tanpa berharap akan menerima kembali. Apapun itu seluruhnya hanya ketulusan. hanya itu...

aku tumbuh sebagai seseorang yang begitu individualis, karena di lingkungan sepeti itulah aku tumbuh. aku tak pernah tahu bagaimana rasanya menghabiskan waktu bersama banyak teman sekampung untuk bermain di pematang sawah, berlarian seperti angin, dan merasakan bergulat dengan ular sawah atau bermain mengejar burung-burung yang mengincar benih-benih padi yang sedang tumbuh. aku tak pernah measakan itu. keseluruhan duniaku adalah dimensi sekuler dan skeptis dimana aku bahkan tak dapat bertandang ke rumah tetanggaku untuk sekedar meminjam gula ketika aku sedang kehabisan. aku terbentuk menjadi sebuah pribadi yang begitu eois, cuek, dan malas tahu. aku tak pernah tahu apa itu gotong royong sampai aku diberi tugas mengarang dengan topik itu oleh guru bahasa indonesia ketika aku kelas tiga es de. aku begitu penyendiri tapi aku banyak juga memiliki teman. dalam beberapa hal aku tak kesulitan mendapatkan teman yang bisa untuk sekedar diajak ngobrol tentang gosip terkini. karena aku suka mendengarkan. yaa...aku suka bicara juga atau bercerita atau sedikit memberi petuah omong kosong juga yang bahkan aku sudah tak ingat lagi apa yang aku katakan dalam jangka waktu lima menit kemudian.tapi sebenarnya aku lebih suka mendengar...ya mendengar...

sejenak aku jadi miris dan meringis sedikit. hal bodoh yang baru saja aku ungkapkan sendiri. aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku mendengarkan orang lain berbicara tentang diri mereka kepadaku...
yang ada sepertinya malah aku yang banyak bicara pada orang lain dan menyebarkan aibku sendiri!
ah...aku begitu hina rasanya...

bahkan sekarang pun nyatanya ku masih saja sibuk bercerita tentang diriku pada kalian.

kalian mungkin juga akan bertanya-tanya paling tidak pada diri kalian sendiri. memangnya apa hubungannya antara persahabatan dengan individualis diri? itu kan dua hal yang sangat bertentangan dan bahkan tak layak disandingkan?

iya kan? kalian pasti berpikir seperti itu!
persahabatan adalah hubungan yang agung antara dua manusia atau lebih... [paling tidak begitulah pemahamanku tentangnya]
sedangkan inividualis diri tak lebih dari sekedar peminta-minta yang memohon belas kasih dari orang lain


lalu apa hubungannya?

wah ma'af...sebaiknya kalian tidak bertanya padaku, karena aku juga sedang mencari jawabannya...

Danau dan Gadis Bergaun Putih

"Danau dan Gadis Bergaun Putih"

Aliran hidup seperti air,ia mengalir, berjalan mencari penemuan-penemuan baru, alur aliran baru. ia bisa murka menjadi banjir yang menelan banyak korban, atau tenang seperti danau dengan udara sejuk disertai angin berhembus begitu sepoi diiringi suara burung bercicit. Begitu menenangkan...seperti danau ini...

Aku berdiri di tengah-tengah sebuah padang rumput hijau di atas bukit kecil, dari kejauhan terlihat pemandangan danau itu, bukit ini dikelilingi bunga-bunga liar yang tumbuh secara serampangan tanpa mengurangi estetika keindahan tempat ini. Udaranya hangat dan cerah, anginnya berbau segar, seperti campuran antara bau udara pesisir dan udara pegunungan. Aku menarik napas dalam-dalam dan membuat ruang yang sangat luas di paru-paruku, sambil dengan bodohnya berharap akan ada sebagian dari udara ini yang kadung merasa nyaman dan membangun padepokan untuk kemudian tinggal di dalam sana, ada untungnya juga buat aku, karena aku tak akan pernah kehilangan bau ini seumur hidupku, jadi aku tak perlu merasa bahwa aku telah pergi dari tempat ini. Aku ingin abadi disini...

Hari itu aku memakai sebuah gaun terusan berwarna putih, gaun terusan yang terbuat dari kain yang sangat halus, sehingga rasanya sebuah tiupan kecil pun sudah mampu menggerakkannya. gaun itu hanya sampai sepanjang paling tidak sepuluh senti di bawah lututku. Aku merasa seperti perempuan paling anggun di tanah itu...
Aku berdiri di tanah paling tinggi di bukit itu, rasanya seperti berada di puncak gunung paling tinggi dimana aku bisa melihat semua dari ketinggian ini. gaun yang kugunakan menari mengikuti iringan angin, ia senang dan rupanya ia pun telah menemukan belahan jiwanya di tempat ini. apakah aku berhak menginginkan hal yang sama?
Ah...sepertinya aku harus bertanya pada danau di kejauhan itu, mungkin dialah belahan jiwa yang selama ini kucari.Aku melirik dan tersenyum padanya, ia membalas dalam kedamaiannya,dengan bahasa yang tak akan dimengerti oleh orang lain,selain aku...

Sapaan Setengah Jam Lewat Jam Dua Belas


0:31 08/02/2007
"Sapaan setengah jam lewat jam dua belas"

Selamat malam atau selamat pagi, tepatnya itu tergantung pada versi tiap-tiap orang. Ada yang menganggap jam setengah satu itu malam, ada yang anggap sudah termasuk pagi, ada yang anggap setengah pagi setengah malam, atau tengah malam, atau tengah pagi, entahlah yang penting tak perlu memaksa apakah ini pagi siang sore malam, lihat langit sajalah lalu tanya sama otakmu atau hatimu, itu juga terserah, aku hanya mengemukakan pilihan, selebihnya tinggal kamu sendiri yang harus menjatuhkan pilihan dan mencari jawaban atas pertanyaan apakah ini pagi siang sore atau malam.

Waktu-waktu seperti ini seperti sebuah dunia baru bagi kaum nomaden, bagi kaum tanpa tempat, bagi kaum tanpa jasmani, dan bagi kaum-kaum yang memang merasa tak perlu atap untuk hidup. Kaum yang tak pernah tahu jalan ini akan menuju kemana, yang di depan mata cuma terdampar seperti rel kereta api yang kayaknya lurus tapi sebenarnya belok-belok juga. tapi toh yang meniti jalan di atasnya tak perlu pusing-pusing, cukup hanya dengan berjalan di atasnya, syukur-syukur kalau ketemu sama kereta api yang lagi jalan. Pada akhirnya hanya akan ada dua kemungkinan bagi si peniti jalan tadi. Kalau dia pintar pasti saat ini dia sudah berada di atas gerbong kereta api kelas satu dengan fasilitas yang wah dan tak perlu menderita dalam proses yang menjemukan sampai hampir mati kehausan dan kelaparan. Tapi maaf juga buat mereka yang goblok tolol dan dungu, paling-paling akhirnya besok mereka jadi terkenal di seantero nusantara, namanya disebut-sebut di berbagai media massa cetak dan elektronik dengan sambutan banyak fans yang sampai menangis meraung-raung, jadi headline berita terkini,DITEMUKAN SEONGGOK TUBUH YANG HANCUR LEBUR DISAMBAR KERETA API YANG SEDANG MELINTAS,Ha ha ha! Cara yang paling sempurna untuk mengakhiri sebuah hidup yang memang sudah carut-marut seperti sekarang.

ada untungnya juga orang yang menderita insomnia, ah tidak tidak, insomnia rupanya bukanlah sebuah kutukan, tapi itu sebuah anugerah, bahkan sebuah anugerah yang tak semua orang dapat memilikinya,mau tahu kenapa bisa jadi anugerah? si penderita ini diberikan banyak waktu oleh Tuhannya lebih banyak waktu untuk memikirkan tentang jalan hidup kayak mana yang akan dia pilih untuk kelangsungannya di masa depan, lebih banyak waktu untuk bercermin dan lebih banyak waktu untuk memperbaiki diri mereka atas semua hal buruk yang mereka sudah lakukan, tapi sekali lagi itu adalah pilihan, yang tentu saja tak diambil oleh orang-orang pada umumnya. Sayangnya yang pada umumnya terjadi adalah bahwasanya kebanyakan orang berpendapat itu adalah sebuah kutukan maha karya yang amat sulit dihilangkan, padahal yang dianggapnya kutukan ini sih senang-senang saja kalau disuruh pergi, dia-nya saja yang terlalu ke GR an, huh! Kebanyakan malah ribut memikirkan soal frustrasi yang mereka hadapi tanpa berpikir lebih lanjut mengenai jawaban atas pertanyaan WHAT'S NEXT?

Argh! aku muak dengan semua hal yang ada bau-baunya soal cinta. Sadar atau tidak itu sudah terlalu banya dikoar-koarkan dari nyanyian, puisi, sinetron, film, karya sastra, artikel, iklan, semua! semua! tapi apa yang ada di permukaan bukanlah hal-hal yang dekat dengan cinta yang terlanjur dimuntahkan tadi. Kalau memang cinta itu ada kenapanya Amerika mesti perang sama Irak yang notabene Amerika mengklaim diri sebagai adidaya yang mengutamakan perdamaian dalam setiap misinya, Argh bushshit!bullshit!taisapi! Jaman sekarang kebanyakan cuma bisa ngomong doang tapi aksinya nol besar, yaa...kayak undang-undang nomer 37 kemarin juga, pejabat-pejabat itu rupanya kebanyakan tidur di ruang rapat jadinya otaknya pada tumpul, percuma kayaknya sekolah tinggi-tinggi sampai ke luar negeri kalau ujung-ujungnya cuma bisa bikin perut besar kayak gelembung sabun yang bisa pecah gara-gara duit orang susah yang kebanyakan mereka telan entah dalam keadaan mentah atau sudah mateng kayak bisul.

ada satu lagi yang tak punya hati. menteri koordinator kesejahteraan rakyat atau menteri koordinator kesengsaraan rakyat ya? kalau dari segi singkatannya sih sama-sama MENKOKESRA. bagus nian jabatannya, bayarannya juga pasti bagus...duit punya siapa....lumpur, banjir, bye bye laaahhh....

Baru saja seorang teman lama menghubungi aku, seorang teman lama dimana aku pernah mengisi hatinya bertahun yang lalu dan katanya hingga sekarang, tapi buatku ia tak lebig dari seorang teman sharing yang akan selalu mendengarkan aku. Aku sempat bertanya padanya tadi sebelum ia menutup telpon itu secara tak sopan gara-gara lost of credits, aku bertanya kenapa ia menghubungi aku setelah sekian tahun ia termotivasi aku untuk menghubungi aku lagi malam ini, aku tahu dia mau bilang kalau mungkin dia tiba-tiba kangen denganku, tapi ego laki-laki sepertinya mengurungkan niatnya untuk mengatakan itu sama aku, akhirnya apa yang keluar dari mulutnya? "Yaa..pengen aja, buat ngabisin pulsa", dalam hati aku bilang betapa kurang ajarnya laki-laki jaman sekarang ini! Begitu mau bilang cinta sama aku, mending ke neraka aja sekalian.

aku ingin berbagi tapi aku tak tahu dengan bahasa apa aku akan mengatakan tentang semua hal yang menyesakkan otak dan terutama hatiku. Ketakutan-ketakutanku yang tak beralasan, dan semua hal yang membuat aku menjadi semakin tak tahu langkah apa yang harus aku ambil untuk hidupku ini...

aku menjadi abnormal...

seorang penyimpang yang tak punya landasan

kecewa, frustrasi, depresi, dan semacamnya saat ini telah mendominasi semua aspek yang menaungi aku

entah setan dari alas mana ini yang sekarang merasuki aku, tapi yang jelas aku hanya ingin segera tersadar dari semua mimpi buruk ini, aku akan meminta pada Tuhan, ya tentu saja karena Dia satu-satuNya yang berhasil menunaikan penelitian atas bagaimana menciptakan dan membuat manusia hidup di dunia, dan kenapa Bumi? bukan jupiter, atau mars atau pluto, atau merkurius, dan semacamnya yang melayang di sana. Tapi bukan itu rupanya, aku merasa kesepian di dunia, di tempat yang seperti ini aku merasa kesepian dan entahlah, aku sepertinya membutuhkan teman-teman yang aku tak tahu kemana mereka semua disaat aku benar-benar membutuhkan mereka semua 24 jam ada disisiku. entahlah...dalam keadaan seperti ini aku terus menerus bertanya, apakah disaat aku mati akan ada orang-orang yang bersedia meluangkan air matanya untuk aku? apakah ada orang-orang yang bersedia meluangkan waktunya yang sedikit itu untuk melayat aku? ah sekali lagi entahlah...

beban? tanggung jawab? persetan dengan itu semua!

[aku ingin menikmati penderitaan yang sekarang sedang beruntung menempel padaku, menjadi parasit dan siap menghisap seluruhnya dan mengambil alih kesadaran dariku]


Entahlah...

Entahlah...

Entahlah...

Eeeee........nnnnnn.........
ttttttttaaaaaaahhhhhhh.............
laaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh....................


(dan aku kemudian meleleh)

[2:22]

Laut Kok Hijau


12:14 06/02/2007
" Laut kok hijau.."

Yang aku ingat aku hanya duduk di sebuah tumpukan batu bata setinggi pinggangku yang ditutup semen dan terasa sangat dingin ketika kududuki. mataku memandang jauh di depan sana dan aku bisa melihat begitu banyak hamparan laut hijau yang berusaha menenangkan aku, dan sepertinya mereka berhasil. Lagak-lagaknya mereka kayak tahu kalau aku sedang memikirkan banyak hal. Ya...mereka memang selalu tahu. Aku sendiri juga heran, darimana mereka tahu. Pernah sekali waktu aku bertanya pada mereka, hey!kalian punya mata-mata ya?kok bisa tau kalo aku lagi memikirkan banyak hal?!, mereka menjawab dengan desiran yang di telinga terdengar seperti rangkaian kata-kata, kurang lebihnya mungkin begini,MATA ADA DI SETIAP INCI DARI DIRIMU...

aku berpikir keras tentang desiran itu. apa ya artinya? kok aku bisa tahu bahasa desiran? jangan-jangan aku mulai ketularan Harry Potter yang bisa ngerti bahasa ular! hah! tai kucing, itu kan cuma khayalan orang, dan ini bukan khayalan! semuanya nyata tanpa ada rekayasa, kayak reality show tentang penampakan-penampakan yang di tivi-tivi itu loh!

aku berpikir tapi aku tak beranjak dari permadani dinginku yang tak sedap dipandang ini. Wah!sialan ini laut hijau, aku kan datang kemari untuk menemukan jawaban, tapi kok malah diberi teka-teki silang yang baru! weeess...edan tenan!tapi tetap saja aku memikirkannya, itu cuma umpatan-umpatan yang tak berarti, anggap saja iklan komersial di tivi juga, tapi bedanya ini tak dapat uang...

aku berpikir semakin dalam tetap tentang desiran tadi sembari aku tak melepaskan pandangku dari laut hijau itu. Sejurus kemudian sesuatu menggelitik aku dengan rasa penasaran yang hebat, aku bertanya lagi pada diriku dalam hati, Laut kok hijau?

Bravo! aku dapat teka-teki silang baru lagi!

Kontinuitas Sebuah Mimpi

2:29 19/11/2006
"Sebuah Mimpi Tanpa Akhir"

Sial! Sial! Sial! kata umpatan apa lagi yang bisa menyembuhkan sesak di dalam sini?! rasanya semakin mengumpat semakin tertekan pula pembuluh darahku, kerongkonganku, membuatku merasa ingin tersedak tapi tak bisa. Rasanya mirip-mirip seperti kehilangan nafas waktu mau tenggelam di kolam renang saat ingin mencari tau bagaimana cara berenang yang baik dan benar.

jiwaku dianugerahi gerakan melankolis secara mendadak. semuanya jadi terasa begitu dramatis. aku jadi sibuk mencari objek-objek yang sekiranya mungkin akan menjadi jodohku, satu dan selamanya. waktu juga membuatku terjebak dalam sebuah sinergi tak terjamah akan kenangan masa lalu. sebuah lingkaran setan yang tak dapat ku tembus barang sejengkal pun untuk mencari titik lemah hingga aku dapat membasminya, hilang seperti pusaran angin tornado yang sanggup menyapu sebagian daratan di negara barat sana atau puting beliung di timur sini.

siang tadi sehari yang lalu, akhirnya aku bisa mengambil waktu tidur siangku dengan leluasa. tanpa harus terbebani dengan kewajiban-kewajiban yang bikin tak nyenyak tidur. ditemani sebuah novel kusut pinjaman dari sebuah perpustakaan kecil di luar kampusku tapi tak semua orang mampu membacanya dan aku merasa sangat beruntung dapat membawanya sebagai teman tidur. dan aku bermimpi.

aku terbangun dengan rasa badan malah tak keruan. sakit disana-sini. pegal disana-sini. pusing disana-sini. aku hampir menyerah dengan kualitas tidurku yang semakin buruk belakangan ini. seperti naluri, aku memegangi pelipis kepalaku. rasanya nyeri sekali... habis mimpi apa aku tadi? aku mengingat-ingat dengan keras. sesuatu berkelebat dalam ingatanku. ini berkaitan dengan masa laluku, tandasku sendiri. tapi apa? apa!

sebuah wajah...tidak! sebuah kejadian...mmm...sebuah gambaran, petunjuk, atau cahaya..aku tak yakin...

tapi rasanya itu...menyenangkan...tapi juga menyedihkan...aku ingat! aku menangis tadi...dalam mimpi, tapi karena kejadian apa?

[23:02 19/11/2006] kontinuitasnya

mengapa aku terbangun dengan rasa yang tak keruan? aku ingin menjawab, aku tahu kalau aku tahu jawabannya, tapi aku tak ingin menjawabnya. rasa sakit di dalam sini menyeruak begitu saja. aku tak tahu. tak tahu. dan tak tahu.

semuanya seperti nyata. aku tak mengatakannya. tapi itu memang benar seperti nyata. rasa sakitnya juga nyata. rasa rindunya juga nyata. wajahnya nyata. senyumnya nyata. aku bahkan mendengar suaranya. am i getting insane?

Pluz Minuz Diskusi Cinta

0:51 14/11/2006

" pluz minuz diskusi cinta "

[+] sampai kapan kamu akan mendiamkan aku terus seperti ini? Apakah permintaan maaf atas sikapku yang kemarin belum cukup? Kalau iya, katakan aku harus bagaimana? Tolong jangan diam seperti ini... terkadang diam memang sikap yang tepat, tapi juga tidak selamanya begitu...forgive my sin...

[+] sampai kapan? kalau memang kamu akan tetap diam seperti ini, kamu menang! Tapi tolong beri sedikit maaf buat aku...hanya sedikit...aku akan benar-benar menghargainya...bener-bener kuhargai kalau kamu berkenan...

[+] right, now i wanna ask you again... Can I see you? even for a while? I still have something that i must give to you... tentang rencana kita membuat kue berdua, kapan aku bisa melakukannya bersamamu? Aku kangen sama kamu...maaf kalau aku bicara seperti ini di saat yang tidak tepat seperti ini pula...tapi aku merasa sangat senang kalau kamu masih mau menjawab kata-kataku ini...

[+] ya sudahlah...kalau begitu aku minta maaf karena telah mengganggumu, aku betul-betul tak bisa menahannya lagi, seperti yang sudah aku katakan tadi...from now on, aku tidak akan mengganggumu lagi...I'll really try for it, maaf..maaf...maaf...please take care of yourself...

[+] aku benar-benar tidak ingin semuanya jadi seperti ini, aku hanya ingin ada orang yang bisa aku sayangi dan menyayangi aku... aku tidak ingin menyakiti siapapun juga, tidak akan pernah ingin...Kenapa semuanya harus menjadi seperti ini? Sudahlah...saat ini yang bisa ku lakukan hanya tidak lagi mengganggumu untuk seterusnya, sampai kapanpun..meski hanya melalui sms KAMU ADALAH ORANG YANG AKU SAYANGI SAMPAI KAPANPUN, KARENA HANYA KAMU ORANG YANG NYATA PERNAH MENYAYANGI AKU SECARA NYATA! aku membutuhkan orang yang 'nyata' bukan orang yang memberi kasih sayang semu...aku memang bersalah, salah...terima kasih..terima kasih...

[+] memang aku tidak akan pernah tahu...tidak akan..maaf...

[+] aku berbicara tentang apa yang kuyakini benar...memang tidak salah kalau aku tak pandai menilai tentang diriku sendiri, kamu juga pasti bisa membedakan mana hubungan yang tahu satu sama lain dan mana yang tidak, kamu mau menyalahkan aku silahkan, karena itu yang paling benar buatmu...kamu punya pengertian seperti itu, aku juga punya pengertian sendiri! Membuatmu merasa bersalah?! aku memang manusia goblok!aku memang tidak tegas dalam hal ini...tapi untuk menghancurkan kamu? darimana kamu bisa mendapatkan pikiran semacam itu? kamu benar-benar salah...

[+] simpel...dari pertama aku hanya ingin minta maaf padamu..sedari tadi itu yang coba aku lakukan! aku sama sekali tidak berniat untuk mengajakmu bertengkar, yang aku inginkan hanya mengatakan maaf padamu, itu saja.aku tidak perlu tahu jawabannya karena dengan baik hati kamu sudah menunjukkan sikapmu melalui jawaban-jawabanmu tadi, hanya itu!!! tidak lebih dan tidak kurang, karena cara mencerna setiap orang memang berbeda...sudah kan? maaf kalau aku telah mengganggu banyak waktumu malam ini...

[+] aku tidak akan pernah pergi darimu Ai...aku sudah pernah mengatakan padamu, apa aku bisa tanpamu? akhir-akhir ini aku betul-betul merasa kehilanganmu Ai...tapi terkadang bertengkar denganmu membuatku...ah sudahlah! Sekarang kalau menurutmu, jalan keluar seperti apakah yang terbaik untuk kita? tolong jangan lagi memarahi aku sayangku...membaca jawabanmu yang terakhir rasanya hatiku senang sekali...senang sekali...maaf kalau cara bicaraku kembali ngelantur. Aku terlalu bahagia hingga tak tahu lagi jarak antara nyata dan semu, benar dan salah,maafkan aku...maafkan aku...

[+] yaa...aku tahu...terima kasih untuk mengingatkan aku sekali lagi, this is my last batt, maaf ya..aku juga hendak pulang sekarang, lagak-lagaknya mataku ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi...


[-] this is not whos become the winner, even im not sure about everything what i saw and everyone around me, apologize is always there, im fine but not okay...=)

[-] no, forget it for a while, im totally unready about all of thing which has connection with you and her, please understand, i cant pretend like theres nothing happened

[-] jangan membuat segalanya menjadi berat untuk aku, kamu, juga dia. aku tahu kalau saat ini kamu sedang mencoba bersikap adil, tapi ini tetap tidak adil buatku,Im alone to face it, please give me some times to accept this all...both of u dont understand about what I feel...

[-] kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasa sakitnya di dalam sini...

[-] kalau kamu berada di depanku saat ini, aku pasti sudah menamparmu! apa yang semu? apa yang nyata? apa?! kamu bahkan masih belum bisa membedakan dua kata itu, kalau kamu memang berniat menghancurkan aku perlahan-lahan dengan rasa bersalah karena jawabanmu tadi or with everything what u gonna do, congratulationz! u did it!

[-] langsung aja lah! apa sih sebenarnya yang hendak kamu mau jelaskan padaku? aku tidak mau ribut malam-malam...

[-] (aku akan membuatmu menderita sayangku,kau akan melihat kejahatan yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan,aku akan memanfaatkan rasa cinta yang ada padamu untukku membunuhmu perlahan-lahan,ini sebuah dendam! ya dendam! dendam cinta pada laki-laki yang dengan mudahnya menyakiti perempuan-perempuan)
Sinisme! coba kamu baca lagi sms-sms yang sudah kamu kirimkan buat aku tadi dan kamu masih berani bilang tidak mencoba mengajak aku bertengkar? ada yang salah diantara kita, dan kamu pikir kamu bisa pergi begitu aja tanpa menyelesaikannya terlebih dahulu? dan kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi begitu saja? begitu? no...no..no...tidak! kamu harus bertanggung jawab terlebih dulu baru kamu boleh pergi sayang...

[-] (inilah saatnya!)
yang terjadi antara kita, aku pikir sudah mencapai tingkat kompleksitas yang tinggi dengan segala permasalahan yang terjadi di dalamnya. Dia juga sudah masuk di hidupmu juga hatimu, karena itulah aku tidak akan menawarkan apapun selain apa yang sudah kita sepakati sebelumnya, do what a friend shall do, aku tidak akan pernah melarang hakmu untuk mencintai aku, mengungkapkan segala hal yang ada di kepalamu, tapi itu hanya selama masih dalam batas yang aku anggap wajar, aku sudah terlanjur mengeraskan hati dan tidaklah mudah bagi aku atau siapapun untuk membuatnya mencair kembali seperti sedia kala...

[-] (dia mengalihkan tanggung jawab dan sakit hati karena penolakanku terhadapnya, aku tahu)
Kamu ingin aku menjawabnya seperti apa? kalau aku mengatakan aku masih membutuhkan seorang teman bicara malam ini, apakah kamu masih akan ada disana buat aku?


diskusi ini berakhir tanpa ada kesimpulan yang sanggup menutupnya...

[2:38]

20 menit yang lalu

0:20 08/11/2006

"20 menit yang lalu..."

aku berulang-ulang menyalakan korek api yang tak kunjung mau menyala di atas sebuah roti mungil yang kubeli tadi sore di sebuah hypermart di dekat kampusku. tak ada lilin, bukannya aku lupa, tapi aku memang tak membelinya, karena ketika kulihat tadi harganya cukup membuat nafasku berhenti sejenak, jadi mau tidak mau aku harus memutar otak untuk mencari penggantinya, dan voila! korek api pun jadilah...

aku cukup puas dengan perayaan kecil yang kukemas sedramatis mungkin di kamar kecilku itu. bagiku itu sudah cukup syahdu. aku mengucap beberapa permohonan pada Tuhan sebelum aku menyalakan "lilin" itu untuk kemudian meniupnya.

ada dua orang yang mengirimkan sms padaku, hanya dua orang, ah...sedih juga, karena ternyata memang tak ada yang peduli padaku. Jadi hanya mereka berdua yang menganggap aku penting dalam hidup mereka hingga mereka mau mengorbankan jam tidurnya hanya untuk mengirimkan sms yang mungkin untuk orang-orang yang lain pasti akan memilih siang hari saja.

tapi aku tak ambil pusing, kalau memang hanya mereka berdua yang peduli padaku, cukuplah! memangnya aku ini artis yang membuat semua orang tahu seluk beluk aku seperti apa. masih untung aku jadi manusia biasa dengan ketenangan hidup yang luar biasa seperti ini...

aku tak tahu kenapa aku menangis, semuanya terjadi begitu saja. Untunglah ini sudah tengah malam, jadi aku tak perlu takut orang lain akan melihatku dalam kondisi mengenaskan seperti ini.

20 menit yang lalu, usiaku 21 tahun... SELAMAT ULANG TAHUN...

Diktator Kecil

22:12 13/10/2006

" Diktator Kecil "
[ sebuah ilham yang terhenti karena waktu ]

0:16 06/02/2007 [kontinuitasnya]

aku hidup dalam sebuah sistem yang tak bakal dimengerti dan dipahami semua orang, hanya yang termasuk pada golongan orang-orang bodoh dan idiot saja yang akan mengerti tentang segala hal yang kupaparkan dengan gaya bahasa yang kugunakan.

kenapa? ya karena aku juga termasuk dalam golongan itu dan aku tak mau berpijak daripadanya!!

aku terjebak dalam sebuah lingkaran, lingkaran yang tak putus dan tak bisa diputuskan bahkan oleh pisau paling tajam sekalipun.

Lingkaran itu seperti rumah tua. Rumah tua yang kokoh tapi tetap saja tua yang jarinya hanya bisa digunakan untuk menghitung kisaran waktu yang tertinggal sebagai peti mati dari rontokan-rontokan kayunya.

tak hanya aku, tapi semua yang ada di dalam lingkaran rumah tua itu menderita, menjadi tua dan mengukir peti matinya sendiri.
jika saja ada keadaan yang lebih buruk tapi bisa menenangkan dan jadi solusi.

biar saja rumah tua ini ambruk, dilalap api, kena gempa, kena banjir, kena tsunami, menjadi abu, atau tiba-tiba menghilang... mungkin itu lebih baik, sangat lebih baik.

aku dilema, dilema oleh keadaan. dua sisinya ganas dan tak memberi aku waktu untuk mencari jalan tengahnya.

hasilnya?

aku hanya diam saja tanpa basa-basi, tanpa kata, tanpa bicara, tanpa bergerak,tanpa bernafas... HANYA DIAM

Ketika Nenek Itu Menghilang...

22:57 10/10/2006

" Ketika Nenek Itu Menghilang... "

Argh! Entah mengapa, rasa-rasanya cuaca benar-benar tak bersahabat denganku beberapa hari belakangan ini. Dehidrasi semakin menjadi, kulit pun semakin legam. Namun aku berlagak seakan aku tak peduli dengan tantangan surya yang cahayanya sungguh perih menyengat, aku terus berjalan, sambil berharap rasa apa yang tak jelas ini bisa luntur keluar dengan segera dari dalam bersamaan dengan keringat yang mengucur.

Aku tak mengelak kalau beberapa hari ini aku diliputi perasaan aneh yang tak punya definisi. Kepalaku overloaded dengan banyak hal yang tak punya solusi. Stagnasi hidup. Aku berada pada titik jenuh ganda yang pada akhirnya menuntut aku untuk sekedar mengikuti arus. Padahal masih ada sebagian dari hati nurani yang menentang keadaan itu. Pertentangan kiri dan kanan semakin seru. Tapi tak apalah, tak setiap harinya aku merasa eneg dengan keadaan seperti ini, jadi apa salahnya kalau aku sejenak lari dari rutinitas yang menjemukan untuk mencari kesenangan lain yang juga tak kalah menjemukannya.

Siang ini keadaan memaksa aku untuk sejenak kembali pada rutinitas jemu tapi tak kupungkiri pula kalau sebenarnya keberadaannya bermanfaat untukku. Yah kupikir ini adalah kewajiban yang kemudian harus aku tuntut hak-ku.

Aku terus melangkahkan kaki, aku hendak pulang, menyusuri jalan yang biasa aku lewati di atas roda. Tapi hari ini aku memutuskan untuk berusaha sendiri saja, tanpa bantuan roda-roda yang memanjakan aku itu. Sial! Matahari siang ini benar-benar menguji kesabaranku. Kalau aku tidak ingat sedang berpuasa mungkin aku sudah menenggak air minum yang dijual di bedak-bedak pinggir jalan itu.

Ketika berjalan, aku jadi tahu bagaimana rasanya orang-orang yang berbaju lusuh itu menghabiskan hari dan mencari tahu bagaimana cara terbaik untuk melanjutkan hidup esok hari. Tidak makan, tidak minum, tidak ada uang, ah! aku benar - benar masih beruntung.

Di telingaku berdentum-dentum lagu yang sekiranya membuat aku terus bersemangat untuk melalap aspal dan trotoar di hadapanku ini. Ramai sekali jalanan hari ini. Sampai - sampai hendak menyeberang pun aku harus menunggu traffic light(*) itu berubah warna dan membuat semua roda berdecit. Mengapa aku memutuskan untuk menyeberang? ya..ya..karena aku lihat di seberang jalan itu banyak sekali baliho terpampang dan mungkin dengan berjalan di balik papan iklan itu paling tidak sementara aku akan terlindungi dari sengatan matahari sialan! Dan ternyata pemikiran sederhanaku itu sama sekali tak salah.

Sudah tak begitu panas sekarang, aku harus berterimakasih pada jejeran papan iklan yang entah berpajak atau tidak ini. Dentuman lagu semakin menguasai aku dan aku kembali bersemangat berjalan menelusuri trotoar ini.

Di arah yang berlawanan aku melihat seorang nenek berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya yang bergetar. Ia berjalan selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati, memilah-milah dengan tongkatnya jalan mana yang kemudian harus ia ambil. Aku begitu maklum mengingat trotoar ini memang berbatu. Ia memandangku, namun kemudian aku memalingkan wajah. Hingga tiba saat berpapasan dengannya aku kembali memandangnya dan aku merasa ia sedang berusaha mengatakan sesuatu padaku.

Aku melepas penyumbat kuping yang kupakai sejak aku berjalan pulang dari tempatku menimba ilmu tadi, mematikan musiknya, dan bertanya pada nenek tua itu apakah ia sedang berbicara padaku. Ia kemudian memanggilku Jeng(**) dan mengucapkan salam dengan lembut dan aku reflek menjawab salam itu. Ia kemudian bercerita tentang banyak hal padaku, yang kemudian membuat aku tahu bahwa nenek ini adalah seorang keturunan etnis tionghoa. Namun ia seorang muslim, sembari mendengarnya terus berbicara mengenai masa lalunya, aku memperhatikan wajahnya,ia berkacamata, kacamata tua, dulu ia pasti sangat cantik, hal itu terbias dari garis-garis yang tertoreh disana. Tubuhnya kecil mungil. Kepalanya hanya setinggi sedikit lebih rendah dari pundakku. Ia mengenakan baju terusan yang amat bersih dan rapi, dibalut jaket yang terbuat dari rajutan benang, dan ia memakai jilbab berwarna putih, hanya putih, tanpa hiasan apapun.

Aku tetap mendengarnya berbicara, bercerita secara tiba-tiba tentang hidupnya, tentang bagaimana ia dibuang oleh anak-anaknya, tentang bagaimana dulu ia sangat kaya raya namun kemudian jatuh miskin dan suaminya menjualnya kepada cukong-cukong(***) jalanan. Bagaimana ia melarikan diri dari kegelapan hidup yang secara tiba-tiba menimpanya. Bagaimana ia berusaha menerima waktu yang berjalan begitu cepat dan meninggalkannya dalam masa tua yang begitu sepi. Tanpa kasih sayang anak-anak yang begitu didambanya. Bagaimana kerap kalinya ia dianggap sebagai pengemis oleh manusia-manusia yang kebetulan iba saat melihatnya berjalan. Aku hanya mendengar, tetap mendengar. Kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya kemana ia akan pergi setelah ini, ia menjawab dengan penjelasan yang amat panjang bahwa sebenarnya ia hendak mencari Haji-Haji yang mau mendoakannya, Haji-Haji yang dapat menuntunnya menuju jalan yang benar yang selama ini ia cari. Ia begitu rindu akan ketenangan jiwa yang tak juga didapatkannya. Ia hendak pula mencari Haji-Haji yang dapat menuntunnya untuk dapat mendoakan keselamatan dan kebahagiaan putra-putrinya dimana pun mereka berada dan dalam kondisi apapun mereka.

Aku sedikit terhenyak mana kala ia memberiku doa dalam alunan bahasa jawa yang amat halus setelah aku memberi jawaban dari pertanyaan apakah aku sudah menikah. Aku mendengar dan hanya mampu mengaminkan doanya. Ia mendoakan aku selalu sukses dalam hidup, mendapatkan jodoh yang berkecukupan, baik, sabar, dan penuh pengertian, sekaligus ia mengatakan padaku jangan tertipu oleh keelokan wajah seseorang karena itu bukanlah sebuah jaminan bahwa ia dapat membawamu menuju sebuah kehidupan yang tenang dan bahagia. Ia pun menyalahkan dirinya atas semua hal yang pernah menimpa dirinya dan ia berharap aku tidak mencontoh segala perbuatan yang pernah dilakukan olehnya. Ia mengatakan semua itu sambil menggenggam tanganku erat-erat. Sangat erat. Dan entah ada kekuatan apa dalam diriku yang kemudian mendorongku untuk memeluknya, padahal aku sama sekali tak mengenalnya. Nenek tua itu begitu ringkih...


Aku melepas pelukanku dan ia masih tetap menggenggam tanganku erat-erat. Ia mengulangi doa-doa yang telah ia sebutkan tadi berulang-ulang, aku mendengar dan hanya mampu mengucap kata amien...

Sedetik setelah ia mendoakanku ia perlahan melepaskan tangannya atasku dan kemudian berpamitan seraya mengucap salam...aku membalasnya..dan air mataku menetes (dengan entah apa sebabnya...)

Aku terus menatap nenek itu yang berjalan sangat pelan dengan tongkatnya sebagai penunjuk jalan. Beberapa langkah nenek itu aku kemudian berbalik dan berjalan bermaksud meneruskan perjalanan pulangku yang tertunda. Hanya beberapa langkahku saja kemudian aku tiba-tiba ingin sekali lagi melihat nenek misterius itu. Aku membalikkan badanku seraya berharap akan kembali menemukan punggung nenek itu, tapi aku tak dapat menemukan siapapun disana. Jalan ini tidak bercabang, hanya satu jalan lurus, dan tidak ada pepohonan yang mampu menghalangi pandangan. Aku menajamkan mata, berjalan kembali ke arah tempatku bertemu dengan si nenek tapi aku bahkan tak dapat menemukan pertanda apapun bahwa nenek itu pernah berada disana dan berbincang denganku. Aku memutar otak, apakah secara tiba-tiba nenek itu menemukan kekuatannya yang tercecer dijalan, mengumpulkannya, kemudian berlari sekencang mungkin? atau ia punya pintu kemana saja yang kemudian membawanya hilang begitu saja tanpa jejak? atau? atau? aku tak tahu!


Aku kembali berjalan dengan perasaan yang tak menentu. Pengalaman apakah itu tadi? Aku terus memutar otak tanpa henti. Tapi semakin aku memutarnya, semakin kepalaku pening tak keruan. Aku flash back sejenak dan menyadari bahwa dalam beberapa waktu tadi aku berada di dunia dimana aku seharusnya tidak berpijak. Tetapi sesuatu telah membawaku kesana. Jantungku terus berdetak kencang sepanjang sisa perjalanan pulangku. Bahkan sengatan matahari dan pegalnya kaki pun tak lagi terasa. Semua tenagaku terkuras memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Apa artinya?


Sebentar lagi aku sampai pada tujuan perjalananku, aku tersenyum, tersenyum, dan mulai mengerti apa maksud semua hal ini. Angin segar mulai menyapaku, aku tersenyum lagi dan mulai berharap dapat kesempatan untuk kembali dipertemukan dengan nenek misterius tadi. Karena aku telah menyiapkan banyak pertanyaan untuknya...


Keterangan:
(*) Traffic light adalah lampu pengatur arus lalu lintas yang berwarna merah kuning dan hijau
(**) Jeng adalah kata sapaanuntuk perempuan dalam bahasa Jawa yang berarti nona atau nyonya
(***) Cukong adalah kata lain dari mucikari

Di Sudut Sana Itu...


21:33 10/10/2006

" Di Sudut Sana Itu... "

Ketika aku duduk di sudut sana itu. Merasakan hembusan angin melewati setiap senti jengkal tubuhku. Menyelap rambutku. Merasakan udara begitu panas menyapa. Ditambah gemerisik suara ilalang yang tinggi-tinggi saling bergesekan setelah dilalui angin.

Apakah aku melamun? Aku tak tahu hingga aku tersadar oleh sapaan dua orang bocah cemo(*) dari kejauhan. Mereka melambaikan tangan mereka sambil melompat-lompat seperti girang, memanggil aku, "Kakak! Kakak!". Aku mendongakkan kepalaku hingga melihat mereka yang wajahnya masih samar saking jauhnya. Tapi aku tetap mengenali mereka. Dua kakak beradik itu tinggal di deretan rumah kayu di belakang rumah yang kutinggali. Orang tua mereka berasal dari Sorong. Bagian lain dari pulau ini. Pun aku balas lambaian itu, "Mari!". Begitu aku teriakkan pada mereka. Namun mereka tetap melambai dan berlalu sejurus kemudian berlari-larian menceburkan diri ke dalam dinginnya air irigasi. Aku tersenyum baru tersadar bahwa mereka tak mengenakan sehelai benang pun saat menyapaku tadi. Rupanya mereka hendak mandi. Mereka pun bahkan tak sempat mendengarkan kata 'mari'ku tadi. Memang begitu ulahnya, hampir semua bocah cemo tak pernah memakai baju. Meski mereka telah bersentuhan dengan modernitas, tapi begitulah kebiasaaannya. Agaknya mereka punya cara sendiri untuk mengeksploitir adat istiadat mereka dengan cara yang begitu natural dan cenderung tak lazim bagi orang kebanyakan.

Aku melihat mereka begitu riang bermain di antara titik air yang sepertinya sangat menyegarkan di udara seperti ini. Ya...dan aku tersenyum melihat mereka. Sungguh pemandangan yang memenuhi relungku.


Matahari telah setengah miring. Tapi udara masih panas. Meski angin selalu datang dan berusaha menghiburku, tapi panas tetaplah panas. Aku tetap duduk di sudut sana itu. Singgasana yang tak tergantikan. Memori yang tak terlepas. Aku masih menanti sesuatu. Ada yang belum lengkap rasanya hari ini, hingga aku pun masih enggan untuk beranjak dari sudut ini.

Benar saja! Lamat-lamat aku dengar gemelentang lonceng disertai deru langkah seribu kaki. Makin lama semakin mendekat. Tapi aku tak perlu beranjak dari tempat aku duduk di sudut ini. Tetap di sudut ini.

Ini dia! Nampaknya memang ini yang kunanti. Rombongan yang teratur menjenguk padang rumput sebelah setiap sore. Sapi-sapi padang rumput timur. Dalam rombongan itu tampak jantannya cuma seekor. Berwarna hitam dan memiliki proporsi tubuh lebih besar dan kekar daripada yang lainnya. Tanduknya melengkung galak menantang surya. Tak diragukan kalau pejantan itu mampu menggagahi betina sebanyak itu. Betinanya memiliki warna kulit yang lebih cerah, coklat muda. Dengan tanduk kecil yang seakan-akan memberi kesan itulah perhiasan mereka.

Mungkin terdengar tidak penting. Tapi kedatangan rombongan ini sungguh memberikan suasana yang begitu damai dan nyaman.

Gemeletak batang kayu yang bersentuhan dengan bebatuan terdengar kemudian. Inilah kedatangan sang raja. Ialah sang gembala tua yang tampak begitu sabar menggiring dan menanti rombongan itu hingga puas merumput. Dengan 'seragam kebangsaan' yang khas lengkap dengan persenjataannnya, ia berjalan dengan gagah dan yakin.

Seragam itu berwarna abu-abu lusuh. Mungkin saking seringnya dipakai dicuci dipakai kemudian dicuci dan begitu seterusnya. Kemejanya pun tampak lubang disana-sini, namun terlihat juga beberapa diantaranya bekas tisikan kasar. Mungkin ia tidak memiliki istri, hingga ia menisiknya sendiri sebisa mungkin. Dan mungkin itulah hasil tisikan terbaiknya. Paling tidak mungkin begitulah menurutnya. Memang ini serba mungkin, karena aku hanya menerka-nerka saja.

Celana yang dipakai hanya sebatas panjang sampai beberapa senti di bawah lutut saja, keadaannya pun tak jauh beda dengan teman sepasangnya. Ia tampak terbiasa berjalan diantara bebatuan cadas itu tanpa alas kaki. Jangan tanya bagaimana aku, sama sekali belum terpikir untuk mencobanya. Jangankan bertelanjang kaki,pakai sandal karet saja masih terasa tajamnya bebatuan itu hingga ke dalam. Tapi mungkin aku akan mencobanya lain waktu. Ya..ya..aku memang akan mencobanya nanti. Gembala itu memakai tutup kepala yang juga lusuh namun tampak sangat familiar untukku. Ah ya! aku ingat aku pernah memilikinya beberapa kali pada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku mengernyit pahit, entah mengapa, melihat penggembala itu seketika dadaku terasa begitu sesak. Ia menoleh ke arahku!

Aku terhenyak dengan sejuta pikir menyertai aku.
Apakah ia tahu kalau aku mengamatinya?
Atau jangan-jangan ia bisa tahu jalan pikiran orang termasuk aku?
Atau...

Ia tetap melihat ke arahku, dan aku memberanikan diri untuk tetap melihatnya.

Sedetik kemudian ia tersenyum dan melambai ke arahku. Tongkat gembalanya terangkat pula mengikuti lambaian tangannya. Setengah berteriak ia berkata-kata yang sepertinya ditujukan kepadaku karena memang tak ada orang lain disitu selain aku dan gembala tua itu. Kecuali ia memiliki kemampuan untuk berbicara pada sapi-sapi peliharaannya itu. Tapi tidak! Ia memang berkata padaku, "ACEM!!"(**), begitu katanya. Dan aku membalasnya dengan lambaian dan kata-kata yang sama. Aneh, serta merta sesak itu hilang...

Gembala tua itu kemudian berlalu mengikuti jejak rombongan di depannya. Menuju padang rumput sebelah yang sepertinya sudah tak sabar lagi ingin dijenguknya.

Setelahnya, banyak lagi rombongan dan gembala lain menyusul merumput di tempat yang sama. Tapi entahlah, hanya gembala tua yang menyapaku itu yang sungguh menarik perhatianku. Aku pun tidak tahu alasannya. Yang jelas, setelah ia berlalu aku tak lagi meluangkan waktu untuk melihat gembala yang lain.

Aku tetap duduk di sudut sana itu. Matahari semakin miring ke barat. Peraduan tempat dimana memang seharusnya ia berada. Angin tetap mendesir berbisik. Gemerisik ilalang tetap berdengung di telingaku.

Aku memejamkan mata...

Kemudian aku tahu, esok aku akan kembali duduk di sudut sana itu.


Catatan:
(*) Cemo adalah sebutan untuk orang-orang putra daerah di Papua. Sebutan ini populer di kalangan pendatang.
(**) "ACEM" memiliki arti "SELAMAT", kata ini diambil dari bahasa suku Atam dari pegunungan Arfak.